Setiap insan dalam
perjalanan hidupnya pasti memiliki tokoh panutan atau seseorang yang
ditakuti, yang sanggup membawa perubahan besar dalam bersikap. Dimana
dengan kehadiran orang tersebut kita rela, meski dengan terpaksa,
melakukan hal apapun yang sebenarnya enggan kita lakukan. Dalam hidupku, seseorang tersebut adalah Uak atau kakak laki-laki ibu yang telah meninggal bertahun-tahun yang lalu.
Begini cerita singkatnya. Aku lahir dan dibesarkan di kota kecil
bernama Sungai Gerong, tepatnya terletak di Provinsi Sumatera Selatan,
Palembang. Sejak kecil, saat liburan sekolah menjelang hari raya Idul
Fitri, kami sekeluarga selalu mudik ke tempat kelahiran ibuku, di kota
Bandung. Hingga aku duduk di kelas satu SMP tradisi mudik ini pun tetap
berlangsung.
Nah, saat mudik ini biasanya kami berkumpul di rumah nenek di sebuah gang kecil di jalan Mohammad Toha. Waktu berkumpul itulah kami bertemu dengan Uak, namanya Uak Soeroso. Itu adalah saat paling religius dalam hidupku. Karena apa? Ya, karena aku sanggup mengerjakan sholat lima waktu, tentu saja dengan penuh rasa takut, pada Uak.
Alm. Uak adalah seseorang yang sangat keras dalam hal pendidikan agama dan pelajaran sekolah. Dan Uak pun merupakan orang yang disegani oleh lingkungan sekitar, sering dipercaya untuk menjadi khotib saat sholat Jum’at. Pantas saja. Alm. Uak memiliki dua orang anak perempuan, yang pastinya lebih berpengalaman dalam merasakan didikannya yang keras. Aku yang paling tua diantara kedua sepupuku, dan aku yang paling lalai sholatnya.
Memasuki semester dua, masih kelas satu SMP, kami sekeluarga pindah ke kota Bogor. Lalu ketika menginjak kelas satu SMA, aku memberanikan diri untuk tinggal bersama keluarga Uak di Bandung. Sementara kedua orangtuaku masih menetap di Bogor. Nah, ini pun menjadi saat terpintar dalam hidupku. Mengapa demikian? Karena, bersama ketiga anak-anaknya (tentu saja anaknya sudah bertambah satu), aku terbawa arus untuk rajin belajar. Rajin sekali. Dan setiap habis sholat Maghrib pun kami harus mengaji dengan suara yang keras. Sementara Uak mendengarkan dari luar kamar. Sehingga akan terdengar siapa yang tidak mengaji. Alhamdulillah aku sudah dibekali oleh kedua orangtuaku modal penting ini. Entah bagaimana nasibku di tangan Uak apabila belum lancar mengaji. Terima kasih, Ibu & Ayahku.
Ini sedikit kisah di bangku kelas satu SMA. Aku sebangku dengan seorang perempuan bermata sayu dan pintar, Ratna namanya. Dalam belajar kami bersaing lumayan ketat. Hingga saat pembagian raport semester pertama, teman sebangku ku itu mendapatkan rangking satu, sedangkan aku dengan proses belajar yang menegangkan mendapatkan rangking dua. Begitupun ketika menginjak semester kedua. Ini adalah tahun gemilang di hidupku yang tak akan terlupakan.
Nah, saat mudik ini biasanya kami berkumpul di rumah nenek di sebuah gang kecil di jalan Mohammad Toha. Waktu berkumpul itulah kami bertemu dengan Uak, namanya Uak Soeroso. Itu adalah saat paling religius dalam hidupku. Karena apa? Ya, karena aku sanggup mengerjakan sholat lima waktu, tentu saja dengan penuh rasa takut, pada Uak.
Alm. Uak adalah seseorang yang sangat keras dalam hal pendidikan agama dan pelajaran sekolah. Dan Uak pun merupakan orang yang disegani oleh lingkungan sekitar, sering dipercaya untuk menjadi khotib saat sholat Jum’at. Pantas saja. Alm. Uak memiliki dua orang anak perempuan, yang pastinya lebih berpengalaman dalam merasakan didikannya yang keras. Aku yang paling tua diantara kedua sepupuku, dan aku yang paling lalai sholatnya.
Memasuki semester dua, masih kelas satu SMP, kami sekeluarga pindah ke kota Bogor. Lalu ketika menginjak kelas satu SMA, aku memberanikan diri untuk tinggal bersama keluarga Uak di Bandung. Sementara kedua orangtuaku masih menetap di Bogor. Nah, ini pun menjadi saat terpintar dalam hidupku. Mengapa demikian? Karena, bersama ketiga anak-anaknya (tentu saja anaknya sudah bertambah satu), aku terbawa arus untuk rajin belajar. Rajin sekali. Dan setiap habis sholat Maghrib pun kami harus mengaji dengan suara yang keras. Sementara Uak mendengarkan dari luar kamar. Sehingga akan terdengar siapa yang tidak mengaji. Alhamdulillah aku sudah dibekali oleh kedua orangtuaku modal penting ini. Entah bagaimana nasibku di tangan Uak apabila belum lancar mengaji. Terima kasih, Ibu & Ayahku.
Ini sedikit kisah di bangku kelas satu SMA. Aku sebangku dengan seorang perempuan bermata sayu dan pintar, Ratna namanya. Dalam belajar kami bersaing lumayan ketat. Hingga saat pembagian raport semester pertama, teman sebangku ku itu mendapatkan rangking satu, sedangkan aku dengan proses belajar yang menegangkan mendapatkan rangking dua. Begitupun ketika menginjak semester kedua. Ini adalah tahun gemilang di hidupku yang tak akan terlupakan.
Nah, selanjutnya adalah saat yang membahagiakan. Ketika menginjak kelas
dua, aku berkumpul kembali bersama kedua orang tua yang akhirnya pindah
juga ke Bandung. Otomatis kebebasan kembali merasuk ke dalam jiwaku.
Walhasil, karena rasa takut yang semakin menumpul dan terbebas dari
tuntutan nilai yang harus bagus, aku langsung mengalami degradasi
rangking. Melonjak pesat keluar dari 10 besar. It’s so dramatic. Hehe.
Itulah sekelumit kisah tentang orang yang paling aku takuti dan telah membawa pengaruh besar dihidupku, terutama tentang pembiasaan sholat lima waktu. Jazakumullah khairan katsiiraa, Uak. Beliau pun menjadi tempat aku bertanya dan berdiskusi tentang hal apapun, terutama tentang ilmu-ilmu agama. Hanya doa yang bisa kulantunkan, saat ingatan tentangmu hadir dalam benak.
Itulah sekelumit kisah tentang orang yang paling aku takuti dan telah membawa pengaruh besar dihidupku, terutama tentang pembiasaan sholat lima waktu. Jazakumullah khairan katsiiraa, Uak. Beliau pun menjadi tempat aku bertanya dan berdiskusi tentang hal apapun, terutama tentang ilmu-ilmu agama. Hanya doa yang bisa kulantunkan, saat ingatan tentangmu hadir dalam benak.
Siapa orang yang paling kutakuti ya Ibu bukan takut sih tapirasa hormat
BalasHapus