Minggu, 04 November 2012

Erotisme di Atas Panggung Hajatan Hingga Pembantaian di Atas Tuts Piano



         Minggu siang, 4 November, kami memenuhi undangan pernikahan dari seorang teman di daerah Sapan. Ketika tiba di lokasi, di panggung tampak sedang beraksi seorang biduan berdandan aduhai. Berbaju ketat dengan rok sepan hampir mendekati pangkal paha. Bisa dikatakan ini adalah salah satu kelainan pertumbuhan. Yang seharusnya tumbuh ke bawah, ini malah memendek ke atas. Mungkin juga ini merupakan salah satu efek gombalisasi.
Sesudah bersalaman dengan kedua pengantin, kami pun lalu menyantap makan siang di atas jajaran kursi yang berada tepat di depan panggung. Sembari makan, aku pun memperhatikan biduan tersebut beserta penari latar muka dadakan yang merupakan tiga orang pemuda, dengan usia sekitar 27-30 tahunan. Entah bapak di sebelahku, apakah memperhatikan atau menjaga pandangan. Aha. Makanan yang kukunyah terasa tidak jelas, antara tertelan dan tersedak. Karena meski sambil makan, mataku melotot, mengamati penuh tanda tanya. Pun musik terdengar sangat memekakkan telinga. Memperhatikan gerakan mereka di atas panggung, badan bergeal-geol seperti putaran jangka di atas kertas. Sebenarnya suaranya bagus, tetapi kenapa harus dengan gerakan seperti itu? Mengapa hanya tarian jangka itu saja yang digerakannya?
Begitupun kalau melihat hiburan di panggung pada acara khitanan. Selalu saja biduan-biduan berdandan seronok. Padahal yang dikhitan kan anak-anak? Apakah tidak lebih baik kalau yang ditampilkan adalah grup band anak-anak seperti Super Seven, dengan lagu-lagu berciri khas anak-anak? Beda lagi kalau yang dikhitan adalah laki-laki dewasa. Mungkin aku tidak akan banyak komentar. Hanya bergegas melemparkan bom molotov pada lokasi tersebut.
            Nah, berbeda dengan acara Konserto Piano pada Minggu sore kemarin. Sejak memasuki ruang Auditorium IFI, Jalan Purnawarman No. 32 itu suasana tampak syahdu. Dengan lampu temaram, jajaran rangkaian bunga, dan sebuah grand piano tertata di atas panggung. Baru memasuki ruangan pun sudah terasa aura elegan. Apalagi ketika satu per satu dari sembilan pianis usia sekolah dasar hingga sekolah menengah atas itu mempertontonkan kelincahan jemari mereka di atas tuts-tuts piano. Terdengar indah sekali, dengan memainkan komposisi musik dari Bach, Beethoven, Chaminade, F. Liszt, E. Grieg, A. Scriabin dan Chopin. Mulai dari yang bertempo lambat hingga bertempo sangat cepat. Wah, sungguh luar biasa. Keanggunan yang mencengangkan. Seolah terjadi pembantaian terhadap tuts piano yang tanpa henti. Indah sekali. Amaze
Gwyn Elisabeth Sutanto, juga bermain piano hanya dengan tangan kiri

Yang menarik adalah saat seorang pianis asal Bandung bermain piano hanya menggunakan tangan kiri. Setelah membaca tulisan seorang blogger, ternyata zaman dahulu Paul Wittgenstein yang juga merupakan seorang pianis, telah kehilangan lengan kanannya saat Perang Dunia I. Sehingga untuk melanjutkan karir di bidang musiknya ia meminta sejumlah komposer untuk menuliskan partitur yang diperuntukkan khusus bagi pianis yang hanya dapat menggunakan tangan kirinya saja. 
            Dari kedua jenis aksi panggung diatas, dapat direnungkan bahwa sesungguhnya untuk menghibur penonton dibutuhkan keterampilan dan keahlian yang maksimal dengan cara yang tepat. Namun bukan dengan mengekspos gerakan atau penampilan erotis, yang tidak pantas dipertontonkan di depan khalayak.

2 komentar:

  1. wow.... yg punya hajat kampungan, biduannya kampungan.... yg kondangan gag usah ngasih angpaw aja kali eaaa....

    BalasHapus