Minggu
siang, 4 November, kami memenuhi undangan pernikahan dari seorang teman di
daerah Sapan. Ketika tiba di lokasi, di panggung tampak sedang beraksi seorang
biduan berdandan aduhai. Berbaju ketat dengan rok sepan hampir mendekati
pangkal paha. Bisa dikatakan ini adalah salah satu kelainan pertumbuhan. Yang seharusnya
tumbuh ke bawah, ini malah memendek ke atas. Mungkin juga ini merupakan salah satu
efek gombalisasi.
Sesudah bersalaman dengan kedua pengantin,
kami pun lalu menyantap makan siang di atas jajaran kursi yang berada tepat di
depan panggung. Sembari makan, aku pun memperhatikan biduan tersebut beserta
penari latar muka dadakan yang merupakan tiga orang pemuda, dengan usia sekitar
27-30 tahunan. Entah bapak di sebelahku, apakah memperhatikan atau menjaga
pandangan. Aha. Makanan yang kukunyah terasa tidak jelas, antara tertelan dan
tersedak. Karena meski sambil makan, mataku melotot, mengamati penuh tanda tanya.
Pun musik terdengar sangat memekakkan telinga. Memperhatikan gerakan mereka di
atas panggung, badan bergeal-geol seperti putaran jangka di atas kertas.
Sebenarnya suaranya bagus, tetapi kenapa harus dengan gerakan seperti itu? Mengapa
hanya tarian jangka itu saja yang digerakannya?
Begitupun kalau melihat hiburan di panggung
pada acara khitanan. Selalu saja biduan-biduan berdandan seronok. Padahal
yang dikhitan kan anak-anak? Apakah tidak lebih baik kalau yang ditampilkan
adalah grup band anak-anak seperti Super Seven, dengan lagu-lagu berciri khas
anak-anak? Beda lagi kalau yang dikhitan adalah laki-laki dewasa. Mungkin aku
tidak akan banyak komentar. Hanya bergegas melemparkan bom molotov pada lokasi
tersebut.
Nah,
berbeda dengan acara Konserto Piano pada Minggu sore kemarin. Sejak memasuki
ruang Auditorium IFI, Jalan Purnawarman No. 32 itu suasana tampak syahdu.
Dengan lampu temaram, jajaran rangkaian bunga, dan sebuah grand piano tertata di atas panggung. Baru memasuki ruangan pun
sudah terasa aura elegan. Apalagi ketika satu per satu dari sembilan pianis usia
sekolah dasar hingga sekolah menengah atas itu mempertontonkan kelincahan
jemari mereka di atas tuts-tuts piano. Terdengar indah sekali, dengan memainkan
komposisi musik dari Bach, Beethoven, Chaminade, F. Liszt, E. Grieg, A.
Scriabin dan Chopin. Mulai dari yang bertempo lambat hingga bertempo sangat cepat.
Wah, sungguh luar biasa. Keanggunan yang mencengangkan. Seolah terjadi pembantaian
terhadap tuts piano yang tanpa henti. Indah sekali. Amaze.
Gwyn Elisabeth Sutanto, juga bermain piano hanya dengan tangan kiri |
Yang menarik adalah saat seorang
pianis asal Bandung bermain piano hanya menggunakan tangan kiri. Setelah
membaca tulisan seorang blogger,
ternyata zaman dahulu Paul Wittgenstein yang juga merupakan seorang pianis,
telah kehilangan lengan kanannya saat Perang Dunia I. Sehingga untuk melanjutkan
karir di bidang musiknya ia meminta sejumlah komposer untuk menuliskan partitur
yang diperuntukkan khusus bagi pianis yang hanya dapat menggunakan tangan
kirinya saja.
Dari
kedua jenis aksi panggung diatas, dapat direnungkan bahwa sesungguhnya untuk
menghibur penonton dibutuhkan keterampilan dan keahlian yang maksimal dengan
cara yang tepat. Namun bukan dengan mengekspos gerakan atau penampilan erotis, yang
tidak pantas dipertontonkan di depan khalayak.
wow.... yg punya hajat kampungan, biduannya kampungan.... yg kondangan gag usah ngasih angpaw aja kali eaaa....
BalasHapushehehe.. :)
Hapus