Dalam
rangka menjadi tour guide keluarga
adik dari Jakarta, yang ingin menghabiskan waktu liburan di Bandung, kami mengusulkan
beberapa lokasi untuk menjadi tempat wisata. Setelah berdiskusi akhirnya kami
memutuskan untuk mengadakan perjalanan ke Ranca Buaya, dengan alasan ingin
memperlihatkan suasana pantai kepada kedua anak perempuannya yang masih balita
dan ingin menikmati suasana sejuk dengan panorama yang indah. Daripada berwisata
ke pusat kota Bandung ataupun ke kawasan Bandung Utara yang dapat dibayangkan betapa
macetnya di saat long week end seperti
ini, karena bertepatan juga dengan liburan Idul Adha.
Kami
start dari Banjaran, kabupaten
Bandung, sekitar jam 10 pagi. Melewati terminal Banjaran, kendaraan padat
merayap, membuat perjalanan tersendat sekitar 20 menitan. Lalu perjalanan
berlanjut menuju Pangalengan. Dari pertigaan mendekati terminal Pangalengan,
kami belok ke kanan dan terus melaju ke arah Taman Wisata Situ Cileunca. Dari
kejauhan, terlihat ramai juga pengunjung di Situ Cileunca. Ada yang mendirikan
tenda, juga tampak perahu karet untuk arung jeram. Kami pun dapat menghirup
udara segar dan melihat pemandangan indah di kiri kanan jalan. Kesejukkan yang
mulai jarang didapatkan di perkotaan.
Kami melewati Perkebunan Teh Cukul. Seperti
permadanai hijau yang terhampar ratusan hektar. Jalan yang kami lewati beraspal
dan sangat mulus. Di beberapa tempat tampak beberapa pekerja sedang memperbaiki
jalan. Juga terdapat gundukan pasir dan bebatuan, namun tidak mengganggu. Ternyata
Pemerintah Provinsi Jawa Barat sedang mengadakan proyek pembangunan infrastruktur
Jalan Jawa Barat Bagian Selatan untuk memajukan kawasan selatan yang cenderung
masih kurang terperhatikan. Sehingga diharapkan ke depannya dapat meningkatkan
perekonomian masyarakat.
Hamparan Kebun Teh |
Pabrik Pengolahan Teh Hitam |
Vila Cukul |
Dari
ketinggian 1600 m dapl kami dapat melihat betapa dahsyatnya proyek yang sedang
dikerjakan. Seolah-olah membelah perbukitan hijau. Di satu sisi kami memandang proyek
ini merusak ekosistem alam, namun di sisi lain kami menganggap ini sebagai
langkah untuk membuat Jawa Barat bagian Selatan menjadi lebih maju lagi dengan sarana
infrastruktur yang mendukung. Sehingga diharapkan juga dapat memajukan sektor pariwisata
di Jawa Barat yang memang kaya akan sumber daya alam.
Setelah
satu jam perjalanan yang mulus, kami mulai memasuki wilayah Talegong, Kabupaten
Garut. Disini tampak jalan belum selesai dibangun. Jalanan pun masih berpasir,
banyak kendaraan berat di wilayah ini. Memasuki wilayah ini penumpang mulai
gelisah, kedua balita sudah mulai muntah-muntah. Karena tidak terbiasa
mengadakan perjalanan jauh.
Stum Perkasa |
Jalan Tanah |
Salah Satu Jembatan Penghubung |
Semakin
jauh kami berjalan, maka semakin menggila pula track perjalanan yang kami lewati. Jalan berpasir dengan lebar 4
meter, dengan kiri dan kanan jurang, juga bukit pasir yang besar kemungkinan
dapat longsor. Dengan tanjakan-tanjakan tajam yang sanggup membuat sport jantung. Memang kami bukan para adventurer sejati yang bermental baja. Kami
tidak membayangkan bahwa rute yang kami lalui akan sepanjang dan nge-rock seperti ini. Namun tak perlu
khawatir, karena jalan berpasir ini hanya ditemui sepanjang 1 km saja. Selanjutnya
jalan kembali mulus. Melewati beberapa buah jembatan dengan sungai kecil penuh bebatuan
di bawahnya. Lalu kami melewati hutan, juga masih dengan belokan tajam dan
tanjakan curam.
Pantai Ranca Buaya dari Atas Bukit |
Memasuki
wilayah Cisewu kami disuguhi pemandangan alam pedesaan yang menawan, hamparan
sawah berundak mengingatkan pada lukisan alam bergaya natural yang banyak
dijumpai di galeri seni jalan Braga. Nampak rumah-rumah penduduk dilembah yang
dibelah oleh aliran sungai yang masih jernih airnya, sungguh memberikan suguhan
pemandangan tak tergantikan. Setelah melewati Sukarame, kami memasuki wilayah
Caringin. Dari kejauhan pun pemandangan sudah tampak sangat indah. Seolah –olah
kami ada di atas bukit dengan garis pantai dan buih ombak memutih dikejauhan. Terbayar
sudah lelah kami di perjalanan. Perjalanan ini kami tempuh selama 3,5 jam tanpa
istirahat, kecuali ketika berhenti untuk membeli kantong plastik buat muntah.
Anak-anak Bermain Di Sekitar Batu Karang |
Di
pintu gerbang Pantai Ranca Buaya kami membayar tiket masuk sebesar tiga ribu rupiah
per orang. Kami hanya bermain sebentar
saja, kira-kira 20 menit, di tempat yang terdapat banyak batu karang, sehingga air laut tidak sampai ke
tempat anak-anak bermain. Hanya sebatas mata kaki saja. Pemandangan batu karang
pun sangat indah. Namun sayang dicemari oleh sampah yang berserakan di beberapa
tempat. Sebenarnya ada lokasi yang dapat dipakai untuk berenang, tetapi terhalang
oleh ratusan perahu nelayan yang sedang bersandar. Secara keseluruhan,
pemandangan pantai memang indah, namun fasilitas yang lain seperti tempat
penginapan dan wisata kuliner kurang menggiurkan. Lebih terkesan kumuh dan
tidak terawat. Ada juga tempat pelelangan ikan dan pemukiman penduduk yang
lumayan padat.
Jam
02.30 kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Santolo dengan tujuan untuk mencari
tempat makan siang. Dari Ranca Buaya ke Pantai Santolo kami melewati Pantai
Cigalobak. Dikiri kanan jalan tampak hamparan lahan kosong. Pada zaman era Presiden
Soeharto, di kawasan ini merupakan perkebunan sawit milik anaknya, Tommy
Soeharto. Karena banyak terjadi penjarahan, lama kelamaan luas perkebunan sawit
pun semakin berkurang dan beralih fungsi menjadi lahan pertanian milik rakyat. Di
kejauhan tampak punggung-punggung bukit yang juga menambah keindahan panorama. Jalanan
beraspal dan mulus. Selain itu kami melewati banyak muara sungai. Dengan pemandangan
sepanjang garis pantai yang indah, membuat ingin menepi kembali dan menginjak
pasir pantainya.
Stasiun Peluncuran Roket |
Akhirnya
setelah 1 jam perjalanan kami sampai juga di Pantai Santolo, dengan membayar
tiket masuk sebesar tiga ribu rupiah per orang. Sekitar lima ratus meter
sebelum lokasi, kami menjumpai kawasan Stasiun Peluncuran Roket milik Lapan. Di
Pantai Santolo ini tampak lebih ramai dan hidup wisata kulinernya. Juga terdapat
tempat pelelangan ikan. Setelah menemukan tempat yang nyaman, kami memasuki
rumah makan dengan pemandangan langsung ke tepi pantai. Sangat indah sekali.
Namun sayang kulinernya tidak selezat yang kami bayangkan, dengan pelayanan
yang kurang ramah.
Pantai Santolo di Senja Hari |
Apabila
diperhatikan, bentuk ombak di pantai Santolo ini agak aneh, seperti
berlapis-lapis. Agak seram juga melihatnya. Pola deburan ombak yang tampak di
pasir putihnya berbentuk kerucut, bukan garis lurus. Arusnya lumayan deras. Karena
merupakan pertemuan dari beberapa arah gelombang. Pasirnya putih bersih. Namun,
entah mengapa, di tepian kira-kira dua ratus meter dari bibir pantai terdapat
banyak pecahan botol yang seolah-olah disebarkan begitu saja. Setelah menghabiskan
makan sembari mendengarkan suara debur obak yang menderu, kami melanjutkan
perjalanan pulang menuju kota Bandung tercinta.
Sebelum
semakin jauh melaju, kami mengisi solar terlebih dahulu di SPBU terdekat di
Pameungpeuk. Karena kami tidak akan menemukan lagi SPBU kira-kira 30 km hingga
kami mencapai wilayah Cikajang. Karena waktu telah menunjukkan pukul 17.30 WIB,
kami hanya berpapasan dengan beberapa kendaraan dan motor. Jalanan tampak
lengang. Sepanjang jalan Pameungpeuk hingga Cisompet jalan pun beraspal dan sangat
mulus. Selepas Cisompet kami memasuki
perkebunan teh Neglasari. Bila perjalanan dilakukan siang hari, akan tampak air
terjun di kejauhan, lalu kami mulai memasuki kawasan hutan. Disekitar kawasan
Cihurip kami sampai di suatu daerah yang berkabut sangat tebal sepanjang 100
meter, menyebabkan jarak pandang berkurang sehingga lampu hazard mobil harus
dinyalakan. Selepas itu kami kembali memasuki hutan perbatasan antara Cihurip
dan Cikajang. Sungguh perjalanan malam yang sempurna, di tengah hutan dengan
bulan yang separuh purnama, hanya ada kami di dalam mobil dan Sang Maha
Pencipta. Sungguh, perjalanan yang mendebarkan dan penuh rasa kepasrahan
pada-Nya.
Selepas
pertigaan Cikajang dan Singajaya, jalan kembali ramai, kami melaju terus
melewati kota kecamatan Cikajang, Cisurupan dan Bayongbong. Ketika sampai di
kota Garut tepatnya sebelum Tarogong kami terjebak macet yang lumayan panjang. Diperkirakan
penyebabnya adalah karena banyaknya wisatawan yang berkunjung ke pemandian air
panas. Dan saat keluar dari ruas jalan lingkar Nagreg kami terjebak kemacetan
lagi, karena bertemu dengan laju kendaraan dari arah Tasik yang melalui
tanjakan Nagreg. Selepas Cicalengka kami dapat melaju dengan lancar dan selamat
sampai tujuan. Jadi total waktu tempuh Ranca Buaya-Bandung via Pameungpeuk dalam
kondisi macet adalah 8 jam, melelahkan namun menyenangkan.
Demikianlah
kisah perjalanan seharian bersama para adventurer pemula yang masih berusia
belia. Semoga menjadi titik awal lahirnya jiwa-jiwa petualang yang dapat
melestarikan keindahan dan kekayaan alam Indonesia, khususnya di Jawa Barat,
serta menjadikannya sebagai media pendekatan diri pada Sang Pencipta. Aamiin.
Alangkah
indah dan kayanya alam pariwisata Jawa Barat. Hal ini akan semakin
menguntungkan dan membanggakan apabila lebih baik lagi dalam pengelolaannya. Seperti
adanya paket khusus wisata pantai yang mengelilingi seluruh pantai di Jawa
Barat, yang juga terjaga kebersihannya.
***
hade kieu nya perjalanan si teteh..iraha atuh ngajak abdi ?
BalasHapusHeu. Dirimu pan yang menyiksa kami.. :p
HapusTapi asoy geboy. Nuhun pisan, beph.. :)
tampak capeeekkk... ;p
BalasHapusdari segi penulisan..info sdh ckp detail. cm cara penyampaian..sptnya msh satu arah, kurang hidup. maksudnya..tulisan ini kan dimaksudkan spy orang terbawa suasana dng cerita yg disampaikan..naahh..ntu msh kurang "dapet". tp kl dikau tanya padaku "gmn caranya menghidupkan tulisan??" naahh..tanya aje sama pakarnya yeeee..hehehe.. (#ga tggjwb)
Caranya menghidupkan tulisan, ya dengan banyak baca dan banyak nulis. Hehe. Me? jangan ditanya.. ;)
Hapus