Kamis, 19 Mei 2011

Aku dan Airmata

by Dhini Aprilio on Thursday, May 19, 2011 at 9:53pm
 
Bagiku, airmata adalah sahabat. Lebih tepatnya, kekasih.
Mungkin tampak berlebihan. Tapi begitulah. Tidak ada tabu diantara kami.

Ia selalu hadir saat kubutuh melepas gumpal sesak di relung jingga. Ia selalu siap menemani kapanpun saat kuingin melepas penat yang membebat. Ia selalu melapangkan dadanya untuk sekedar merengkuh dan mendengar detak jantungku apabila sedang carut marut. Tidak ada senjang diantara kami. Kami begitu terbuka dan apa adanya.

Terkadang begitu mudah menghadirkan ia di sudut mata hingga mengalir tanpa batas, melepasnya menuju laut lepas. Meski hanya sekedar membaca buku, menonton film, atau bahkan ketika sedang seminar, yang kebetulan membahas tentang peran seorang ibu. Dengan legowonya ia hadir di sudut mata, dan membasahi kedua pipiku yang seluas samudera.

Dan bila hatiku sedang carut marut, ‘tuk sekedar mempertanyakan tentang esensi hidup dan romantikanya. Dengan lembutnya ia akan membelai hatiku dan memberi penawarnya hingga sembuhkan luka.

Namun ada saat, ia tidak dapat hadir menemaniku dengan rinainya. Saat ketika saudara sepupuku meninggal, bahkan beberapa tahun yang lalu ketika uwa ku wafat. Begitu enggan ia memelukku dengan derainya. Ia hanya hadir, sesaat, di sudut mata. Bukan. Bukan aku tidak merasa pilu. Tapi sudut hatiku yang lain telah menerima dengan sebuah senyuman atas ketetapan itu. Suatu rasa percaya pada-Nya. Bahwa Dia telah memberikan waktu yang terbaik untuk umatnya. Hanya itu yang aku rasa. Dan ia pun sangat mengerti itu. Dan hanya berdiam diri di sudut mata.

Aku dan air mata. Akan selalu bersama dalam suka dan duka. Tadi sore, ketika akhirnya lipstik ‘special moment’ ku yang baru berumur dua hari patah! Patah, karena keluar dari saku celana dan terbanting di saat Jauna dan Zhafran berantem. Aku pikir itu tempat terbaik untuk ia (lipstik) agar terbebas dari rasa ingin tahu Jauna. Ternyata?

Sungguh. Sedih dan kecewa. Telah terjadi pemberantasan HAM terhadap diriku oleh anak-anak. Ya. Mungkin itu rasa yang konyol. Tapi itulah yang aku rasa. Saat dimana aku ingin menikmati milikku sendiri tanpa intervensi. Aku jadikan ini ajang pemahaman untuk sebuah konsep kepemilikan. Dan Jauna pun memahami itu. (Terima kasih, Sayang).

Tapi kembali ia membasahi pipi tanpa henti. Benar. Lagi-lagi ia menemaniku. Membiarkan aku melepas segala rasa yang mengganggu, dan mengendap sepanjang hari. Mungkin aku tidak sadar. Tapi ia, air mata, menyadarkanku akan sumbatan itu. Sumbat yang menghalangi hadirnya sebuah senyum tulus dari seorang bunda. Meski aku tetap berusaha untuk profesional, tetap meracik sajian nasi goreng untuk buah hatiku tercinta. (Dan tuntutan rasa lapar).  Ia, menemaniku dengan sedu sedannya. Dengan irisan bawang merah dan katel yang berbunyi mesra ketika beradu dengan pasangan jiwanya, serok.

Sekali lagi aku berterima kasih padanya. Air mata yang selalu berbicara, tentang aku dan kehidupan. Di saat mulut telah terjerat dan tersudut pada simpul-simpul verbalnya*.


Tepisetengahsunyi, 01900500011

*ngutip dikit dari novel The Smoke Jumper

Tidak ada komentar:

Posting Komentar