Jumat, 27 Mei 2011

Jangan Bilang Siapa-siapa

by Dhini Aprilio on Saturday, April 24, 2010 at 12:38am
 
Seruni bersenandung pelan di kamarnya sambil menyalakan lampu lemari dan bergegas mengambil pakaian yang baru dibeli dua hari yang lalu. Blousse sutra lengan pendek berwarna merah muda dengan rok panjang berwarna senada dan tak lepas sepatu highheel 5 cm nya. Setelah dandanannya dirasa cukup sempurna dengan perlahan dia membuka pintu kamar dan meninggalkan suaminya, Igo yang telah terlelap sambil memeluk guling.

Diluar terdengar derungan halus mobil Chevrolet hitam pemberian suaminya yang didapat dari hasil kerja keras selama setahun di salah satu perusahaan swasta ternama di Jakarta. Sambil mengendarai mobil dia menerima telepon dari temannya, Arman yang telah lama menunggu di salah satu kafe di Bandung Utara. “Ok, wait for me just twenty minutes left,please,” rengek Seruni pada Arman. Seruni berjanji pada teman-temannya untuk menghadiri acara ulang tahun salah satu sahabatnya juga, Romandio. Tetapi Seruni melupakan sesuatu. “O my God. Lupa. Gue nggak bawa kado,” kata Seruni berbicara pada diri sendiri.”Kado apa ya? Toko malam-malam begini sudah banyak yang tutup. Ngasih duit ga mungkin. Emangnya kawinan?” pikir Seruni. “Satu lagi yang gue lupa. ATM!” geram Seruni. Itu juga punya suaminya. Uang 1 juta rupiah pemberian suaminya seminggu yang lalu sudah habis dipakai ‘hangout’ bersama teman-temannya. Tapi suaminya tidak tahu itu dan tidak pernah menanyakan kembali uang yang telah dia belanjakan. Selama ini kalau keluar rumah Seruni tidak pernah meminta izin pada suaminya. Alasannya karena suaminya hanya pulang seminggu sekali. “Jadi buat apa aku pamit? Toh dia tidak ada disampingku,” Seruni beralasan pada Arman.

Meskipun Arman termasuk orang yang jarang pulang ke rumah tetapi dia tidak suka bila melihat Seruni tidak berkata jujur pada suaminya. Dia sayang kepada Seruni karena wanita itu sudah dianggap sebagai adiknya sendiri. Dulu Arman memang termasuk salah satu teman baik kakaknya yang sekarang telah menikah dan bekerja di Singapore. Awalnya Arman anak yang baik, tidak suka keluar malam. Tapi sejak kedua orangtuanya berpisah Arman merasa lebih nyaman bila berkumpul bersama teman-temannya di kafe daripada di rumah yang isinya hanya suara pertengkaran orangtuanya. Arman adalah anak tunggal. Anak yang menjadi pucuk harapan orangtua. Tapi sayang kehidupan tidak berjalan semulus yang mereka rencanakan. Selalu ada saja rintangan yang menghadang. Sehingga harapan yang tertumpu pada Arman hancur berantakan karena ulah mereka sendiri.

Sesampainya di kafe Ron’t’house, Seruni merasa jengah sendiri dengan tatapan orang-orang pada dirinya. Setelah mencari-cari komunitasnya akhirnya Seruni bisa bernafas lega. “Hai!” katanya pada teman-temannya sambil tak lupa cipika cipiki. “Hello, cantik,” balas mereka. “Suami loe sdh tidur?” Tanya Arman diantara suara music yang hingar. “Iya pasti dong,” jawab Seruni sambil menyimpan tas mungilnya di meja. “Kenapa nggak diajak?” lanjut Arman. “Waa lain dunia brur,” tawa Seruni. Seruni meminum air mineral yang sudah tersedia di meja. “Seruni cepetan sini. Ayo kita mulai,” panggil Clara pada dirinya yang diminta bantuan untuk menjadi MC (Master of Ceremony) pada acara ulang tahun itu.”Ok..ok,” jawab Seruni bertepatan dengan bunyi dering pada hpnya. “Waduh. Siapa nih?” kata Seruni cepat-cepat. Ternyata nama suaminya terpampang di LCD hp Nokianya. “Wah, Igo. Kenapa dia sudah bangun ya? Man tolong angkat, Man,” katanya pada Arman. Tapi Arman menolak permintaan itu.”Huu..,” kata Seruni sambil mereject panggilan dari suaminya.

Acarapun segera dimulai dengan dekorasi lampu yang berkelap-kelip dan menghadirkan DJ terkenal dari Jakarta. Acara berlangsung sangat meriah. Seruni terlihat lincah dan ceria dalam memandu acara ulang tahun itu yang hampir semuanya berusia diatas kepala tiga. Para undangan terhibur dengan celoteh Seruni yang membuat acara terasa lebih meriah. Mereka semua tampak menikmati deretan menu-menu yang tersaji.

Arman memandangi Seruni di tengah keramaian. Dia berfikir, “Cantik sekali wanita muda itu malam ini, dia memang selalu mempesona. Sulit menepisnya dari khayalku.” Arman terusik dengan kehadiran Clara yang menawarkan minuman beralkohol padanya. “No, thanks,” tolaknya. Walaupun Arman akrab denga kehidupan malam tapi dia tidak pernah bersentuhan dengan minuman beralkohol sekalipun. Karena dia tahu itu tidak diperbolehkan oleh agamanya. Dahulu Arman adalah mantan aktivis masjid di kampus. Jadi setidaknya dia paham tentang aturan-aturan agamanya. Arman kembali memperhatikan Seruni yang belum beranjak dari tempat semula yaitu di stand makanan ringan. “Kenapa dia menyukai dunia malam ya? Padahal dia telah memiliki suami yang pasti akan selalu siap menemani. Harusnya dia bahagia bersama suaminya,” kembali Arman memikirkan Seruni. Arman tidak menyadri bahwa Seruni sudah ada disampingnya. “Hai, ramai-ramai begini ko’ melamun?” tanya Seruni pada Arman. “Dipanggilin tuh sama Roni dari tadi. Tuh sebelah sana,” tunjuk Seruni sambil memeriksa hpnya. Ternyata suaminya, Igo meninggalkan pesan. Seruni kecewa membaca pesannya yang mengatakan bahwa ia harus kembali ke Jakarta malam ini karena ada rapat penting di kantornya besok jam 07.00 pagi dan harus ada yang dipersiapkan terlebih dahulu di kantor. Seruni kecewa dan sedikit menyesal karena tidak menghabiskan sisa malam tadi bersama Igo. Tapi perasaan itu hanya sesaat karena dia kembali terhibur dengan berada di dekat teman-temannya yang notabene 90% adalah laki-laki, ada yang berstatus single dan ada juga yang sudah berkeluarga. Seruni merasa lebih bebas begitu mengetahui suaminya tidak akan ada di rumah bila dia pulang nanti. Jadi dia berniat akan pulang pagi saja. Tapi Arman melarangnya dan menganjurkan agar Seruni pulang lbh awal karena waktu telah menunjukkan pukul 2 pagi. Awalnya Seruni membantah saran Arman tapi karena dia juga sudah mulai mengantuk akhirnya dia mengikuti saran laki-laki itu.
Arman : “Gue ikut mobil loe ya?”
Seruni : “Emang loe mau kemana, Man? Tumben.”
Arman : “Mau nginep di rumah loe.”
Seruni : “Sembarangan. Rumah gue buka penginapan tau.”
Arman : “Nggak. Gue cuma mau mastiin loe selamat aja.”
Seruni : “Tapi ntar loe langsung balik lagi ya.”
Arman : “Iyalah.”
Seruni : “Gue malu sama tetangga. Ntar takut disangka yang enggak-enggak.”
Arman : “Pasti dong.”
Seruni : “Ha..ha..ha.. Tapi ntar pulangnya loe gimana?”
Arman : “Gampang. Loe kaya’ nggak tahu gue aja,” balas Arman sambil mengedipkan sebelah matanya.
Seruni: “Yuk!”
Arman : “Seruni, mau tahu enggak biar loe tenang dan nggak digosipin tetangga?”
Seruni : “Apa?”
Arman : “Jangan pulang malem-malem dong kecuali loe perginya sama suami loe.”
Seruni tercekat. Sejak kapan Arman berani menasehati dirinya. Suaminya saja tidak pernah.
Seruni : “Kenapa loe pake nasehatin gue segala?”
Arman : “Loe marah?”
Seruni : “Bolehkan gue nggak suka?”
Arman : “Ya, emang loe.. ya sudah terserah loe,” Arman tidak melanjutkan argumennya.
Seruni : “Yu’ gue mau pulang sekarang.Kita pamit dulu sama teman-teman.”
Teman-temannya menyayangkan kepulangan mereka dan sebagian lagi ada yang nyeletuk bahwa mereka seperti pasangan ideal. Hal itu membuat mata bulat Seruni tambah melotot sambil memperlihatkan cincin emas yang melingkar di jari manis tangan kanannya.

Diperjalanan pulang Seruni duduk di kursi belakang. Dia sudah tidak kuat menahan kantuk sehingga membiarkan Arman menyetir mobilnya. Sesekali Arman melihat ke arah belakang melalui kaca spion. Dia benar-benar masih menyayangi wanita muda itu. Tapi dia dulu tidak pernah berani untuk mengajaknya menikah. Jangankan mengajak menikah, menyatakan perasaannya saja dia tidak berani. Dia tidak yakin pada dirinya sendiri dan sanksi apakah kelak dia akan bisa menghidupi Seruni dan bertanggung jawab pada pernikahannya karena dia telah melihat contoh yang gagal. Meski Arman tidak bisa menikah dengan Seruni tetapi dia senang masih bisa bersahabat dengannya. Itu yang paling penting bagi Arman, persahabatan. Karena dengan mempunyai banyak sahabat Arman merasakan kedamaian yang tidak dia dapatkan di rumah. Dia kecewa pada orang tuanya terutama kepada bapaknya yang dianggap tidak mampu mempertahankan apa yang telah dengan susah payah diraihnya dahulu.

Arman segera menepikan mobil Chevrolet hitam Seruni ke trotoar depan rumahnya. Kemudian dia membangunkan Seruni dengan menelepon ke hpnya. Seruni terduduk kaget mendengar music trash metal dengan volume dering lima dari hpnya.“Ya ampun,” kata Seruni kaget. “Dimana ini..dimana ini?” Seruni bertanya linglung. Dan lebih kaget lagi begitu melihat yang duduk disebelahnya adalah Arman bukan suaminya, Igo. “Hah ngapain loe ada di mobil gue?” kembali Seruni bertanya. “Kenapa jadi loe ya? Padahal gue tadi pergi sama Igo.” Arman tersenyum melihat tingkah Seruni. “Itu tandanya loe kangen sama Igo.”
Seruni : “Nggak!”
Arman : “Kenapa sih loe nggak ngaku? Sama suami sendiri ini. Nggak perlu gengsi, bu.”
Seruni : “Ah, loe. Merit gih sana. Ntar juga ngerasain sendiri.”
Arman : “Ngerasain apa?”
Seruni :”Ya ngerasain kalau merit itu nggak seindah yang dibayangkan.”
Arman : “Emang kenapa? Ko’ bisa?”
Seruni : “Sudah..sudah ah. Sudah mau pagi nih. Ngantuk. Mau turun nggak?”
Arman : “Oke, tuan puteri. Terima kasih ya.”
Seruni : “Sama-sama.”
Arman : “Ciao! Selamat istirahat. Sampai ketemu besok ya.”
Seruni : “Besok? Emang ada acara apa?”
Arman : “Besok kan kawinan gue.”
Seruni : “Ah bercanda loe.”
Arman tersenyum dan melambaikan tangan sambil berjalan ke dalam kegelapan malam yang sebentar lagi akan berganti dengan sang fajar.

Seruni masuk ke dalam rumahnya yang tercekam sepi. Sebenarnya sudah lama dia merasa kesepian. Selain karena suaminya pulang seminggu sekali kalau ada Igo pun mereka jarang berkomunikasi. Padahal bisa dibilang Seruni orang yang cerewet, banyak omong. Tapi dihadapan suaminya dia membisu. Tak ada gairah untuk membangun komunikasi yang sehat. Begitupun suaminya yang pada dasarnya memang pendiam. Sebenarnya pernikahan mereka adalah hasil perjodohan orang tua. Ketika dijodohkan Seruni tidak menolak karena kata orang-orang dirinya sudah ‘kepentok umur’ alias sudah kepala tiga. Pendapat keluarga mereka kalau perempuan sudah berumur tidak boleh terlalu pilih-pilih. “Suka tambah susah jodoh,” kata ibunya dulu. Seruni tentu saja takut dan tidak ingin mengecewaka orang tuanya. Toh, Igo yang diperkenalkan sebagai anak sahabat lama bapaknya yang orang Sumatera tidak jelek-jelek amat. Bahkan cenderung ganteng. Usianya terpaut lima tahun diatas Seruni. Pekerjaannnya mapan. Sudah bisa memberikan sebuah rumah untuk tempat tinggal mereka kelak di Bandung. Tapi ternyata baru lima bulan menikah Igo dipindahtugaskan ke Jakarta. Jadi sebagai pengantin baru mereka harus terpisah oleh ruang dan waktu padahal mereka belum berhasil menghilangkan sekat psikologis dan membangun komunikasi. Setelah menghangatkan tubuhnya dengan secangkir coklat hangat fikiran Seruni menjadi lebih rileks. Dia pun berbaring di kasur sambil mendengarkan lagu-lagu Chrisye pemberian teman dekatnya, Anton, semasa kuliah dulu. Seruni mematikan lampu dan bersiap-siap tidur. Kembali dia memeriksa LCD hpnya. Ternyata ada sms dari Igo yang memberitahukan bahwa dia telah sampai di Jakarta. Kantor tempat suaminya bekerja bagaikan rumah kedua sesudah rumah kontrakannya yang mungil. Jangankan mencari rumah tinggal untuk mendapatkan rumah kontrakan saja sulit. Itulah salah satu alasan mengapa Seruni enggan ikuti suaminya. “Ruang geraknya sempit dan jauh dari teman-teman,” kata Seruni begitu Igo mengajaknya untuk ikut pindah ke Jakarta. Mendengar alasan Seruni Igo tidak memaksa karena dia menyadari memang terlalu mendadak kepindahannya itu jadi dia belum mempersiapkan segala sesuatunya dengan sempurna. Igo adalah orang yang perfeksionis selain itu dia tidak ingin merepotkan Seruni.

Seruni membalas sms suaminya. “Aku juga sudah dirumah.Sorry tadi tidak membangunkanmu,” balas Seruni dengan rasa sesal dihati. Seruni teringat obrolannya dengan Arman tadi untuk tidak gengsi dengan suami sendiri. “Kangen dan sepi,” tulis Seruni berusaha untuk jujur. Setelah 5 menit menunggu balasan Seruni pun tertidur. Dan ketika terbangun siangnya sms balasan dari Igo tetap tidak ada. Sekali lagi Seruni kecewa.

Hari berganti dan kesibukan Seruni sebagai MC pun semakin hari semakin padat. Dari memandu acara anak-anak yang berulang tahun di restoran fast food, panggung band anak sma, mahasiswa, show di café, acara-acara di perkantoran, maupun host di studio televisi swasta semua dia lakoni. Tapi hanya yang berlokasi di Bandung saja. Seruni cinta Bandung dan tidak suka berada di tempat yang bersuhu udara panas seperti Jakarta. Padahal kota Bandung juga sekarang suhu udaranya mulai terasa panas meski di malam hari.

Tak terasa hampir setahun usia pernikahan Seruni dan Igo. Sebulan setengah lagi ulang tahun pernikahan mereka. Tapi Seruni belum membicarakan hal itu pada suaminya. Sore harinya ketika Igo sedang membaca Koran, Seruni menanyakan hal itu dan Igo hanya bertanya, “Memang kenapa?”
Seruni : “Kenapa bagaimana?”
Igo : “Iya ada apa dengan ulang tahun pernikahan?”
Seruni mendengus kesal.
Seruni : “Memang kamu nggak nganggap itu spesial?
Igo : “Oo..ya spesial dong, sayang.”
Seruni : “Tumben ngomong sayang,” Ups! Seruni kelepasan dan segera menutup mulutnya dengan kelima jarinya.
Igo : “Kenapa? Kamu pengen dirayain?”
Seruni : “Iya.”
Igo : “Dimana? Mau bagaimana acaranya?”
Seruni : “Di kafe aja. Acaranya tengah malam.”
Igo : “Mmm..” Igo melanjutkan aktifitasnya membaca Koran.
Seruni : “Kenapa? Kamu nggak setuju?”
Igo terdiam sambil terus membaca. Seruni pun diam dalam kesal.
Igo : “Seruni..” suara Igo terdengar dalam.
Seruni : “Mmm!”
Igo : “Tolong jangan marah ya.”
“Wah, pasti mau ceramah nih,” pikir Seruni. “Tergantung,” jawabnya.
Igo : “Kemarin di kantor ada ceramah membahas tentang pernikahan, tentang hubungan suami istri, tentang anak-anak, intinya tentang keluarga dalam Islam.”
Seruni : “Terus?”
Igo : “Iya. Saya pengen punya anak.”
Seruni : “Hah? Lalu hubungannya dengan pesta ulang tahun apa?”
Igo : “Iya. Saya pengen kamu menjaga kesehatan sebaik mungkin, jangan terlalu capai.”
Seruni : “Saya sehat ko’,” Seruni menjawab dengan ketus. “Saya rajin renang, berat badan saya ideal.”
Igo : “Saya harap kamu bisa mengurangi acara keluar malam bahkan kalau bisa dihilangkan.”
Seruni terdiam. “Waduh ini dia yang gue nggak suka,” kata Seruni dalam hati.
Igo : “Seruni..”
Seruni : “Iya, apa?”
Igo : “Saya minta maaf kalau selama ini belum bisa menjadi pemimpin yang baik. Aku sebagai suami belum bisa membahagiakanmu. Tapi aku berusaha untuk berubah. Aku ingin belajar membina rumah tangga ini sehangat mungkin. Aku butuh dukunganmu.”
Seruni : “Mmm…”
Igo : “Kamu hebat Seruni. Kamu cantik, cerdas, pandai bergaul. Aku telah menyia-nyiakan kamu selama ini. Maafkan aku Seruni.”
Seruni ‘speechless’. Dia tidak berkata apa-apa. Sayup-sayup terdengar musik trash metal dari ruang televisi. Seruni langsung berlari ke arah handphonenya meninggalkan Igo sendiri larut dalam khayal.

Ternyata dari Arman.
Seruni : “Halo,” kata Seruni. “Ada apa, brur?”
Igo : “Lagi di rumah ya?”
Seruni : “Ko’ tahu?”
Igo : “Tau dong. Kan sekarang hari Sabtu. Ada Igo kan?”
Seruni : “Iya. Mau apa, Man?”
Arman : “Nggak. Iseng aja. Ya sudah salam aja sama bang Igo ya,” canda Arman.
Seruni : “Iya, ntar disampein.”
Arman : “Makasih ya. Runi?”
Seruni : “Apa lagi ?”
Arman : “Kalau ngobrol sama Igo jangan judes ya. Ngomong sama suami harus lembut lo.”
Seruni : “Yaa..Ceramah lagi. Sejak kapan sih loe jadi suka ceramah?”
Arman : “Hmm..serius Runi.”
Seruni : “Iya..iya.”
Arman : “Seruni..”
Seruni : “Apa lagi? Ya ampuun.”
Arman : “Gue sayang eloe.”
Seruni : “What?..” Belum selesai Seruni berbicara telepon sudah terputus. “Huh, Arman yang aneh,” Seruni bergumam.

Seruni kaget begitu tahu Igo sudah ada didekatnya sambil memegang remote tv.
Igo: “Siapa, Run?”
Seruni : “Biasa, Arman. Dia nitip salam untuk kamu.”
Igo: “Oo..dia sering nelepon?”
Seruni : “Nggak juga paling seminggu sekali.”
Igo : “Oo..”
Seruni : “Kenapa oo?”
Igo : “Nggak. Nggak enak hati aja.”
Seruni heran karena menangkap nada sinis dalam suara Igo. Padahal selama ini Igo tidak pernah protes terhadap semua kegiatan yang dilakukan dirinya. Mau siapa yang menelepon, dia bergaul sama siapa termasuk sama Arman yang memang sudah lama jadi sahabatnya. Akhirnya Seruni memberanikan diri bertanya,” Kenapa? Kamu jealous?”
Igo : “Enggak.”
Seruni terdiam dan tidak melanjutkan pembicaraan mereka. Begitu Seruni akan beranjak ke kamar Igo memanggilnya.
Igo : “Seruni mau kemana?”
Seruni : “Ke kamar.”
Igo : “Sini dulu. Temanin aku. Mau gimana acara ulang tahun nanti? Tapi aku minta tolong tempatnya di rumah aja ya?”
Seruni berfikir sejenak, berusaha untuk menghargai keputusan suaminya dan menekan keinginannya untuk mengadakan acara malam hari di luar rumah.
Seruni : “Oke.”

Igo kembali bekerja bertugas di Jakarta sebagai manajer bagian produksi. Seruni melepas keberangkatan suaminya dengan senyuman penuh arti. Sebagian bersiap menerima kedatangan sepi dan sebagian lagi berarti kebebasan. Entah mengapa Seruni merasa tidak bebas bila Igo ada di rumah. Padahal Igo tidak pernah mengekang keinginan Seruni selama itu untuk hal-hal yang positif. Misalnya profesi istrinya sebagai MC dan kegiatannya di klub renang. Mungkin karena sudah kebiasaan sejak kuliah Seruni bebas bergaul dengan siapa saja tanpa kenal waktu. Bisa jadi itu juga yang menyebabkan laki-laki baik enggan mendekatinya karena dia dicap sebagai perempuan yang tidak layak. Padahal jujur dia berani bersumpah tidak pernah melakukan hal-hal yang melewati batas. Dia hanya suka berkumpul bersama teman-temannya karena di rumah hanya ada bapaknya saja. Ibunya sudah lama berprofesi sebagai TKI di Korea sehingga pulangnya hanya bisa empat tahun sekali. Keadaan ekonomi keluarga yang mengharuskan beliau seperti itu. Dulu Seruni baru lulus SMA. Awalnya Seruni tidak rela ibunya pergi jauh. Tapi akhirnya setelah dibujuk Seruni pun setuju. Meski Seruni sering menangis selama seminggu ketika ibunya pergi.

Seruni ingin menelepon Arman menanyakan pernyataannya kemarin. Terdengar lau Chrisye pada nada sambung Arman. “Ini anak seleranya selalu sama dengan gue,” pikir Seruni sambil bersenandung menikmati lagu. Seruni tidak menyadari kalau teleponnya sudah tersambung.
Arman : “Hai, bu! Mau nelepon apa karaokean?”
Seruni : “Eh..he..he..hai,” Seruni tergagap malu.
Arman: “Lagi apa loe?”
Seruni : “Ye..gue yang nelepon kalee.”
Arman : “Ha..ha..”
Seruni : “Man, loe kemarin ngomong apaan sih? Norak tau nggak.”
Arman : “Iya. Habis gimana lagi. Memang gue sayang sama loe.”
Seruni : “Iya. Norak tau nggak.”
Arman : “Iya. Emang kenapa?”
Seruni : “Loe kenapa baru sekarang ngomongnya? Kenapa nggak dari dulu?”
Arman : “…”
Seruni : “Coba kalau dari dulu gue ga akan merit gara-gara ‘kepentok umur’ tau.”
Arman : “He..he..loe nyesel?”
Seruni : “Ya nggak sih. Kalau tahu dari dulu loe naksir, belum tentu juga gue mau. Loe kan aktivis mangkir. He..he..Mendingan juga anak metal mangkir berarti kan jadi baik. Kalau loe dari baik jadi jelek.”
Arman : “Waa..jangan gitu dong. Gue juga pengen baik lagi.”
Seruni : “Syukur dong. Ya sudah kita balapan.”
Arman : “Balapan apa?”
Seruni : “Siapa yang duluan insyaf.”
Arman: “Ha..ha..ada-ada aja loe.”
Mereka terdiam.
Arman : “Gimana hubungan loe dengan Igo?”
Seruni : “Baik.Emang kenapa?”
Arman: “Nggak. Loe harus baik ya. Jangan suka ngebantah loh sama Igo.”
Seruni : “Kenapa gitu?”
Arman : “Dosa. Kemarin gue denger ceramah tentang Rumahku Surgaku di masjid deket rumah.”
Seruni : “Waa Alhamdulillah. Gue kalah sebelum bertanding nih sama loe.”
Arman : “Beneran. Gue jadi inget sama loe dan Igo. Harus dijaga pokoknya. Loe dan Igo sama-sama beruntung deh, dua-duanya baik, normal. Ternyata banyak rumah tangga yang kacau karena dua-duanya nggak normal.”
Seruni : “Nggak normal gimana?”
Arman : “Ya ada yang suka sesama jenislah, selingkuhlah, KDRT, pelitlah, banyak deh.”
Seruni : “Gile loe serem amat.
Arman : “Beneran, Run. Syukurin deh yang loe punya. Serius gue.”
Seruni : “Ah loe gue jadi sedih.”
Arman : “Ya? Please demi gue.”
Seruni : “Ko’ demi loe? Rugi banget gue.”
Arman: “Ya demi siapa dong?”
Seruni : “Ya demi Igo lah.”
Arman : “Ha..ha..iya..iya..yang penting loe insyaf deh. Gue juga.”
Seruni : “Hmm..Siip deh.I’ll try. Thank you.”
Arman : “You’re welcome.”
Seruni : “Ya sudah atuh. Gue mau pergi dulu nih jadwal renang.”
Arman : “Mau dianter?”
Seruni : “Nggak usah. Ntar loe tambah sayang lagi sama gue.”
Arman : “Ha..ha..ha..”
Seruni : “Bye..bye.”

Tidak terasa hari ulang tahun pernikahan Seruni dan Igo tiba. Acara sudah dipersiapkan sesempurna mungkin sesuai dengan karakter Igo. Dan Seruni pun sudah mempersiapkan kado istimewa. Seruni sudah tidak sabar ingin memberikan kado tersebut. Dan dia juga sudah tidak sabar ingin mengetahui isi kado dari suaminya.

Kue ulang tahun berhias coklat dengan foto mereka berdua diatasnya terlihat serasi sekali. Tercium aroma masakan khas Palembang di meja makan, dan juga tersedia makanan khas Eropa kesukaan Seruni. Teman-teman berdatangan kira-kira berjumlah 30 orang. Seruni berdandan anggun sekali menggunakan gaun panjang berwarna ungu muda membalut tubuhnya yang ramping, rambutnya yang panjang dan ikal ditata dengan cantiknya, lehernya yang jenjang tampak indah dihiasi kalung bertahtakan mutiara. Igo berdecak kagum melihat kecantikan yang terpancar dari wajah istrinya.

Ketika makan malam selesai dilanjutkan dengan pemberian doorprize untuk para tamu undangan. Suasana meriah diiringi dentingan piano dan derai tawa. Acara puncaknya adalah pembukaan kado dari Igo dan Seruni. Seruni mendapat giliran pertama. “Ladies first,” canda Igo. Seruni menangis bahagia begitu melihat isinya yaitu empat buah boneka beruang yang terdiri dari ayah, ibu dan kedua anaknya. Boneka beruang itu sangat lucu sekali. Ketika Igo mengecup kening Seruni Igo berbisik,”Lambang keluarga yang kudambakan. Semoga..” Para tamu bertepuk tangan, ada yang ikut menangis bahagia. Dan tiba giliran Igo. Sebuah kotak berwarna biru seukuran kotak sepatu bertuliskan,”I love you, Dad.” Begitu dibuka Igo terpana. Membuat semua orang penasaran. Igo pun memperlihatkan isinya pada mereka semua, sebuah Al Qur’an kecil berwarna merah hati dengan terjemahnya dan sebuah sajadah yang juga berwarna merah hati, warna favorit Igo. Ketika Al Quran tersebut dibuka ada secarik kertas tertempel bertuliskan “Jangan bilang siapa-siapa ya..I’m pregnant!”. Igo terpaku dan mengalir ucapan penuh rasa syukur dari mulutnya ,”Alhamdulillahirobbil’alamiin.” Mereka pun berpelukan bahagia diiringi tepuk tangan para kerabat dan tamu undangan yang ikut larut dalam perasaan yang sama.

Bandung, 23 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar